Oleh: Dahlan Iskan
DISWAY — IA pendukung gigih Presiden Jokowi tapi juga tidak mau Jokowi tiga periode. Ia mendukung aspirasi mahasiswa yang menolak keinginan tiga periode itu.
Ia Islam tapi begitu banyak mengkritik Islam. Sampai dibenci banyak kalangan Islam. Ia aktivis jaringan Islam liberal tapi juga tidak setuju usulan pendeta yang minta menteri agama menghapus 300 ayat Quran karena dianggap anti-toleransi.
Ia orang Minang tapi tidak mau ikut prinsip tungku tigo sajarangan. Tiga tungku untuk satu masakan itu adalah: ninik mamak, alim ulama, dan cendekiawan. Tiga-tiganya harus seimbang: agar hidup bisa rukun dan damai.
“Ade Armando itu orang yang mengatakan begitu saja apa yang ada di pikirannya,” ujar seorang pengamat menilainya. “Untuk menjaga toleransi kadang orang harus tidak mengatakan semua yang ada di pikirannya. Tapi Ade tidak begitu,” tambahnya.
Itulah sebabnya Ade menjadi sosok yang sangat kontroversial. Ia tidak takut menjadi sosok yang dibenci. Bahkan tidak takut ancaman. Pun setelah dikeroyok, digebuki, diinjak-injak, dan dilucuti pakaiannya hingga tinggal celana dalam. Ia masih tidak akan mundur.
Akibat berada di tengah-tengah demo besar anti tiga periode di Jakarta Senin kemarin wajah Ade bonyok. Kulitnya ada yang sobek. Ia harus dilarikan ke rumah sakit.
Keberadaan Ade di tengah massa itu tersiar cepat di kalangan pendemo. Lengkap di mana posisi Ade saat itu. Ada fotonya lagi di bagian depan dekat gedung DPR/MPR.
Sebagian orang mencarinya. Ada yang berteriak, ”itu Ade Armando”. Lalu terjadilah apa yang banyak beredar di medsos sepanjang sore dan malam kemarin.
Nama Ade Armando memang populer di jagad medsos. Juga wajahnya. Ia punya corong yang disebut Tjokro TV –yang dicantolkan ke YouTube. Ia selalu masuk di topik apa saja yang lagi viral. Ia tampil di situ. Dengan gaya bicaranya yang tenang, runtut, dan sistematis.
Isi Tjokro TV pada umumnya mendukung pemerintahan Jokowi. Apalagi ketika menghadapi FPI (Front Pembela Islam) dan HTI (Hisbut Tahrir Indonesia). Di matanya tidak ada sisi baik sama sekali di dua aliran Islam yang dianggap bertentangan dengan Pancasila itu.
Adakah itu karena Ade melihat pemerintah sekarang ini sejalan dengan pemikiran Jaringan Islam Liberal (JIL)? Yang berusaha membuat ajaran Islam lebih kontekstual dan rasional –tidak hanya terkungkung secara tekstual.
Maka sikap Ade yang sangat pro-pemerintah itu menimbulkan tanda tanya besar:
- Apakah itu karena pemerintah dianggap sejalan dengan misi Islam liberal?
- Apakah karena ia menjadi bagian dari buzzer –yang di dalamnya ada versi buzzeRp?
Saya tidak kenal dekat dengannya. Tapi dari penampilan sehari-harinya Ade tidak terlihat seperti OKB yang mendadak punya banyak uang. Tidak terlihat pula sosok yang hedonis. Pakaiannya, mobilnya, rumahnya, biasa-biasa saja.
Banyak orang Minang yang menganggap Ade kebablasan –sampai mengguncangkan tigo tungku adat sukunya.
Tapi di Minang sebenarnya memang biasa orang berpikir kritis. Iklim intelektual di sana memungkinkan. Sejak dulu. Sampai pun lahir tokoh legendaris seperti Tan Malaka yang sangat kiri.
“Tapi umumnya orang Minang tetap menjaga keseimbangan tiga tungku itu,” kata pengamat tadi. “Yang paling berani pun, mungkin hanya sampai tingkat 60,” tambahnya. “Tingkat Ade ini sudah 90 atau 100,” katanya.
Artinya: apa yang ada di pikiran Ade 100 persen ia ucapkan. Tidak ada yang disembunyikan. Tidak ada yang dicadangkan untuk tenggang rasa. Pun kalau itu menyangkut agama dan alim ulama.
Tapi dalam hal Saifuddin, Ade mengecam pendeta Kristen lulusan pesantren asal Bima itu. “Saifuddin itu dungu dan bodoh,” kira-kira begitu pendapatnya. “Seharusnya Saifuddin hanya mengusulkan perbaikan tafsir Quran. Bukan menghapus 300 ayat Quran-nya,” ujarnya di suatu acaranya.
Ade juga tidak setuju penilaian Saifuddin bahwa pesantren sarang terorisme. “Mayoritas pesantren itu NU. Dan NU sangat moderat,” katanya. “Kalau toh ada yang ekstrem itu minoritas,” tambahnya.
Aneh, kata Ade, Saifuddin mengelu-elukan menteri agama sebagai orang yang moderat, tapi menilai pesantren sarang ekstremis. “Padahal menteri agama lulusan pesantren,” ujar Ade.
“Di mana logika pendeta Saifuddin,” katanya.
Ade memang selalu mengibarkan bendera logika. Kalau pun sering kontroversial itu demi menegakkan hukum logika. Bahkan di channel-nya ia sudah melakukan disclaimer: yang tidak punya logika tidak usah menontonnya.
Maka di zaman medsos ini, di antara aktivis Islam Liberal, Ade lah yang kini paling menonjol. Ia gigih terus memperjuangkan jalan itu –atas nama intelektual dan bukan atas nama JIL.
Denny J.A., tokoh jajak pendapat dan sastrawan puisi esai terkenal itu, juga masih sering menulis dengan misi yang sama. Tapi tidak sefrontal Ade Armando.
Ulil Abshar Abdalla yang pernah jadi Ketua JIL, kini lebih sibuk jadi kiai mengajarkan Ihya Ulumuddin-nya filsuf Imam Al Ghazali.
Jadi, siapa yang mengeroyok Ade Armando sampai bonyok? Dari yang ditangkap polisi tidak satu pun yang mahasiswa. Dari enam orang yang jadi tersangka, lima di antaranya pedagang kecil. Satu lagi masih dikejar.
Yang jelas Ade kini menjadi pusat pemberitaan dan opini di jagat medsos. Kasus Ade telah menenggelamkan isu utama yang diperjuangkan mahasiswa: anti tiga periode dan turunkan harga-harga. Tidak ada lagi orang bicara dua isu itu.
Ade telah membuat situasi politik lebih stabil –lewat pengorbanannya, termasuk foto ketelanjangan bentuk tubuhnya yang berumur 60 tahun.
Ade Armando telah menjelma menjadi tokoh utama peristiwa besar 11 April kemarin. Justru tidak satu pun nama tokoh mahasiswa yang mengorbit. Peristiwa besar melahirkan tokoh besar –dan itu Ade Armando. Bukan perangcang dan penggagas gerakan itu.
Di zaman medsos siapa pun mudah dibuat tidak satu kata dan satu kegiatan. Kelompok mahasiswa pun sudah terpecah-pecah. Mahasiswa Universitas Indonesia, misalnya, tidak berada di kelompok yang bergerak ini.
Tingginya popularitas Ade Armando sekarang ini tidak mustahil membuatnya sebagai tokoh politik tidak lama lagi. Apalagi ia sudah punya bendera sendiri –yang baru saya ketahui dari tulisan di kausnya kemarin: PIS (Pergerakan Indonesia untuk Semua).
Siapa tahu kelak PIS –baca peace– jadi partai politik. Setidaknya bisa jadi ormas untuk mendukung satu partai politik.
Spirit untuk ke sana mestinya besar. Agar Ade bisa melakukan perubahan bangsa lewat kekuasaan. Ia tentu punya ”dendam” untuk membuat bangsanya tidak seperti masa kecilnya: miskin dan terkucilkan.
Miskin karena orang tuanya harus kehilangan pekerjaan sebagai tentara. Sebenarnya pangkat bapaknya lumayan: mayor. Jabatannya juga lumayan: atase militer di dua negara ASEAN.
Tapi Sang Ayah harus diberhentikan setelah terjadi G-30-S/PKI di tahun 1965. Mungkin dianggap terlalu Sukarnois –yang harus dibersihkan oleh Orde Baru.
Keluarga ini sampai harus merantau ke Malaysia untuk mencari penghidupan. Di Malaysia Ade-kecil merasa dihina-hina. Ia tidak bisa bahasa Inggris.
Itu yang membuatnya dendam sehingga akhirnya gigih belajar bahasa itu. Bahkan setelah lulus UI, Ade kuliah S-2 di Amerika, di University of Florida –yang kampusnya antara Orlando dan Atlanta. Lalu kembali ke UI meraih gelar doktornya.
Sang ayah sebenarnya ingin Ade jadi diplomat. Ade pilih jadi dosen komunikasi di UI –antara lain pernah mengajarkan mata kuliah global communication.
Sebagai dosen, Ade disenangi mahasiswa. Cara mengajarnya pun sangat baik. Ilmu yang diajarkan juga sangat up-to-date.
Berapa nilai Ade sebagai dosen –skala 1 sampai 10? “Bisa di skala 9,” kata dosen di sana. “Mungkin ia hanya kalah oleh Rocky Gerung,” tambahnya. (*)