DISWAY – Di tengah massifnya sorotan tajam atas dampak sosial yang ditimbulkan, direksi PT Vale Indonesia Tbk langsung melakukan pertemuan dengan Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto. Informasi yang dihimpun pertemuan tersebut berlangsung di Jakarta, Senin, 20 Juni 2022.
Jajaran direksi PT Vale Indonesia yang hadir dalam pertemuan itu adalah, CEO PT Vale Febriany Eddy, Komisaris Independen PT Vale Raden Sukhyar dan beberapa petinggi perusahaan asing tersebut.
Bahkan di pertemuan ini turut hadir manajemen perusahaan asal Tiongkok, Zhejiang Huayou Cobalt Company Limited (Huayou), yang merupakan partner dari PT Vale Indonesia.
Juga hadir Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian, Wahyu Utomo, dan Staf Khusus Menteri Bidang Pengembangan Industri dan Kawasan, I Gusti Putu Suryawirawan.
Dari rilis yang diterima dari Head of Communication PT Vale Indonesia Tbk, Bayu Aji, pertemuan direksi PT Vale Indonesia dengan Ketua Umum Partai Golkar itu membahas salah satu syarat perpanjangan Kontrak Karya (KK) perusahaan tambang nikel di Luwu Timur tersebut yang akan berakhir 28 Desember 2025.
Di mana persyaratan perpanjangan KK PT Vale Indonesia dengan pemerintah adalah proyek pembangunan smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, dan smelter feronikel di Bahodopi, Sulawesi Tengah. Dua proyek ini harus selesai 2 tahun sebelum masa kontrak habis, atau 2023.
Pada kesempatan tersebut, Airlangga Hartarto menanyakan terkait progres pengembangan proyek PT Vale, baik di Blok Pomalaa maupun Blok Bahodopi.
“Berapa lama proyek ini akan selesai. Dukungan apa yang dibutuhkan dari Kemenko Perekonomian, khususnya area yang akan masuk dalam Proyek Strategi Nasional (PSN), “ kata Airlangga melalui rilis yang diterima dari pihak PT Vale.
Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa pihaknya banyak mengetahui perkembangan tambang nikel di Indonesia. Peluang pengembangan nikel di Indonesia, kata dia, sangat baik. Serta menyarankan agar pekerjaan yang sudah dimulai untuk proyek Pomalaa dan Bahodopi ini dapat dilanjutkan dan dipercepat.
Dalam pertemuan ini, pihak PT Vale menyampaikan apresiasi atas dukungan yang telah diberikan pemerintah selama ini dan juga menyampaikan perkembangan investasi di Blok Pomalaa.
Pada kesempatan itu, Fang Qixue ( Huayou)
menyampaikan, jika Chairman Chen dari Huayou bersama Febriany telah mengunjungi secara langsung area proyek Pomalaa beberapa waktu lalu.
Katanya, Huayou dan PT Vale memiliki filosofi yang sama, utamanya mengenai komitmen praktek bisnis yang berkelanjutan, mengutamakan pengelolaan lingkungan, social dan tata Kelola yang terbaik (ESG). Spesifik untuk proyek di Pomalaa telah disepakati untuk menerapkan standard ESG kelas dunia.
Investasi untuk proyek ini mendekati 5 Miliar USD, sehingga memerlukan dukungan kuat dari Pemerintah berupa kepastian investasi utamanya terkait perijinan
Sementara, Febriany Eddy menjelaskan perkembangan terkini dari rencana perseroan untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di Blok Pomalaa, sesuai kesepakatan dengan Huayou akan mengadopsi dan menerapkan proses, teknologi dan konfigurasi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang telah teruji untuk memproses bijih kadar rendah, untuk menghasilkan produk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dengan potensi kapasitas produksi hingga mencapai 120 ribu metrik ton nikel per tahun.
Dalam proyek ini, PT Vale dan Huayou sepakat dengan spesifikasi bijih yang memungkinkan optimisasi pemanfaatan bijih sehingga prinsip konservasi mineralnya bisa dipastikan akan terjaga dengan baik, hal ini selaras dengan komitmen perseroan pada keberlanjutan. Saat ini serangkaian kegiatan untuk proyek ini sedang berjalan.
“Pada kerjasama ini kami berkomitmen untuk meminimalkan jejak karbon proyek. Makanya di Blok Pomalaa nantinya tidak akan ada penggunaan batubara. Itu sudah menjadi komitmen dekarbonisasi,”tuturnya.
Poinnya, dalam pertemuan itu Febriany Eddy memohon dukungan agar proses negosiasi Kontrak Karya (KK) PT Vale dapat berjalan dengan baik. “PT Vale akan fokus untuk menjalankan komitmen dan kewajiban-kewajiban perseroan”.
Sebelumnya, Chairman Zhejiang Huayou Cobalt Company Limited Chen Xuehua (Chairman Chen) bersama CEO PT Vale Febriany Eddy bertemu dengan Bupati Kolaka Ahmad Safei dan juga mengunjungi lokasi proyek diantaranya pelabuhan, area penambangan, dan rencana area HPAL Plant, pada 9 Juni 2022.
Chairman Chen dan rombongan secara khusus terbang dari Zhejiang, China, dan mendarat di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Pada kunjungan ini, PT Vale dan Huayou kembali mempertebal komitmen dan soliditas, agar proyek di Blok Pomalaa segera terealisasi, dan beroperasi dengan semangat keberlanjutan. Bupati Kolaka kabarnya menyampaikan dukungan untuk memastikan kelancaran investasi ini.
Stop Perpanjangan KK
Diketahui pertemuan PT Vale dengan Airlangga Hartarto hampir bersamaan dengan rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar Komisi VII DPR RI bersama Komisi D DPRD Sulsel.
Rombongan Komisi D dipimpin langsung Wakil Ketua DPRD Sulsel dari fraksi NasDem, Syaharuddin Alrif untuk melakukan RDP bersama Komisi VII DPR RI, Senin, 20 Juni 2022.
Rombongan Komisi D DPRD Sulsel yang berjumlah 16 orang bersama empat orang staf diterima langsung Ketua Komisi VII DPR RI dari fraksi NasDem, Sugeng Suparwoto.
Dalam laporannya, Syaharuddin Alrif mengatakan, pihaknya melakukan konsultasi dengan Komisi VII DPR RI untuk meminta masukan dan saran terkait keberadaan PT Vale di Luwu Timur.
Mengingat pemerintah pusat telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap perusahaan tambang.
Sesuai regulasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menurut Syaharuddin Alrif, konsultasi tersebut sebagai upaya menindaklanjuti aspirasi masyarakat terkait maraknya keluhan atas keberadaan PT Vale.
“Tujuan kami konsultasi dengan Komisi VII terkait regulasi pertambangan. Di Sulawesi Selatan ada lokasi tambang di wilayah Luwu Timur, PT Vale. Lokasi PT Vale ini cukup luas dan cukup besar. Maka kami melakukan konsultasi sebelum menindaklanjuti, ” kata Syaharuddin Alrif.
Sebab, PT Vale Indonesia kurang lebih 53 tahun mengeksplorasi sumber daya alam (SDA) di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, masih menimbulkan dampak sosial di masyarakat.
Mulai taraf sosial yang masih jauh dari kata sejahtera, isu lingkungan, hingga pelibatan tenaga kerja masyarakat lokal yang kurang maksimal.
Oleh karena itu, Komisi D membidangi pembangunan dan pertambangan tersebut mengadukan perusahaan asing yang melakukan penambangan nikel itu ke Senayan.
Dalam konsultasi tersebut, Ketua Komisi D DPRD Sulsel, Rahman Pina meminta Pemerintah Pusat dan Komisi VII yang membidangi Energi dan Perindustrian untuk mengevaluasi perpanjangan KK PT Vale.
Alasannya, izin PT Vale untuk mengeksplorasi SDA di Luwu Timur seluas 118 hektare. Namun kurang lebih selama 53 tahun melakukan konsesi, perusahaan asing tersebut hanya mampu mengelola lahan seluas kurang lebih tujuh hektare.
Menurut Rahman Pina, pengusaha lokal di Sulawesi Selatan masih banyak memiliki kemampuan untuk mengelola sumber daya alam di Luwu Timur tersebut.
Hanya saja terhalang dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikuasai PT Vale. Sehingga para pengusaha lokal di Sulawesi Selatan hanya jadi penonton di kampungnya sendiri.
“Bisa dibayangkan ada perusahaan dengan hanya modal selembar kertas dengan namanya IUP yang kemudian menguasai lahan begitu luas 118 ribu hektare. Kurang lebih 53 tahun kita hanya jadi penonton. Pengusaha – pengusaha di Sulawesi Selatan tidak bisa melakukan apapun, karena ada pengusaha yang punya kertas selembar yang namanya IUP, ” ujar Rahman Pina.
Maka legislator DPRD Sulsel dari fraksi Golkar ini berharap, perpanjangan Kontrak Karya PT Vale yang akan berakhir di 2025 nanti, agar dievaluasi.
“Setidaknya pengusaha lokal di Sulawesi Selatan bisa diberdayakan, ” harapnya.
Diungkapkan Rahman Pina, kemampuan masyarakat di Sulawesi Selatan untuk mengelola tambang nikel di Luwu Timur, juga memiliki kemampuan memumpuni dan telah terbukti.
Sehingga, kata dia, sangat tidak layak jika konsesi yang diberikan kepada PT Vale begitu besar, yakni 118 ribu hektare. Tetapi pengelolaan selama 53 tahun hanya mampu kurang lebih tujuh ribu hektare. Artinya kurang lebih 110 ribu hektare, menjadi lahan tidur di atas izin Kontrak Karya PT Vale yang belum dikelola.
“Kami punya perseroda, kami punya pengusaha pengusaha nasional dari Sulawesi Selatan dan sudah banyak keluar negeri di dunia ini. Oleh karena itu, sangat naif jika kita memberikan keleluasaan yang luar biasa kepada pengusaha asing, sementara pengusaha lokal tidak diberdayakan, ” ujarnya.
Senada juga disampaikan Anggota Komisi D lainnya, Adi Ansar. Dia berharap dengan dinamika tersebut Komisi VII DPR RI dan Pemerintah Pusat melakukan evaluasi terhadap keberadaan PT Vale.
Setidaknya memberikan keadilan bagi pengusaha – pengusaha lokal.
“Betul – betul, kita ini juga di lapangan hanya jadi penonton. Kami berharap pemerintah dan komisi VII mengevaluasi kontribusi penambang ini kepada masyarakat di wilayah pertambangan. Kalau kita lihat di lapangan ini jauh sekali, antara yang didapatkan perusahaan dan yang diperoleh masyarakat, ” pintanya.
Menanggapi itu, Sugeng Suparwoto menilai, pemaparan Komisi D DPRD Sulsel tersebut akan ditindaklanjuti. Sebab memunculkan adanya ketidakadilan.
Disampaikan Sugeng Suparwoto, Komisi VII sebenarnya telah membentuk Panja untuk mengevaluasi izin Kontrak Karya PT Vale, termasuk dampak sosial di masyarakat selama keberadaan perusahaan asing itu di Luwu Timur.
“Ketidakadilannya dikuasai 118 ribu hektare, tetapi tidak dikerjakan semua. Lantas, bagi kita masyarakat yang ingin berusaha terhalang karena sudah dikuasai. Maka dari itu kami dan teman teman Komisi VII membentuk Panja Vale, ” kata Sugeng.
Meski demikian, diakui Sugeng, tata kelola PT Vale Indonesia cukup bagus jika dibandingkan perusahaan tambang lainnya. Hanya saja, izin Kontrak Karya PT Vale terlalu luas dan selama 53 tahun baru mengelola tujuh hektare lebih.
” Oleh karena itu dengan menyangkut keadilan ada namanya proses redistribusi aset berupa lahan produktif nanti kepada masyarakat yang berhak dan mampu. Supaya keadilan sumber daya alam bisa tercapai, ” tandasnya.