diswaysulsel.com — Kita semua pasti sering mendengar istilah: menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh. Atau istilah strawberry generation, generasi yang kreatif; suka tantangan; tapi rapuh secara mental. Dua istilah tersebut adalah istilah yang identik dengan fenomena globalisasi dan digitalisasi.
Digitalisasi, mempermudah akses kita untuk mendapatkan informasi terbaru, melakukan percakapan dengan orang dari belahan dunia lain, mempersingkat waktu, dan tentu saja membuat ongkos yang harus dikeluarkan jadi lebih murah. Akan tetapi, sebagaimana petuah yang diberikan oleh Sophocles seorang filsuf Yunani “Tidak ada hal besar yang masuk ke dalam kehidupan manusia tanpa kutukan” (White, 2020).
Tidak ada hal yang gratis, seluruh hal punya konsekuensinya. Digitalisasi dan globalisasi, mempermudah kehidupan kita sekaligus membuat kita rapuh secara mental dan membuat kita lupa cara menjadi manusia. Menurut beberapa penelitian, mengenai kesehatan mental dan globalisasi serta digitalisasi menunjukkan bahwa di era digital ini manusia cenderung jauh lebih berisiko mengalami gangguan mental (Effendi, 2023).
Bagaimana tidak, kehidupan kita saat ini penuh dengan begitu banyak distraksi dalam satu teknologi kecil bernama smartphone. Berapa banyak dari kita yang ketika baru bangun langsung mengecek hp? Berapa banyak dari kita yang ketika baru bangun pergi ke kamar mandi atau mengambil minum sambil membawa hp?
Begitulah rutinitas bangun tidur mayoritas orang hari ini. Seolah-olah dunia akan pergi menjauh atau dia akan kehilangan hal yang berharga kalau ketinggalan informasi. Atau apa yang biasa disebut sebagai FOMO atau fear of missing out; perasaan khawatir bahwa Anda mungkin akan melewatkan acara menarik yang akan dihadiri orang lain, terutama yang disebabkan oleh hal-hal yang Anda lihat di media sosial.
Padahal otak kita punya kapasitas harian informasi yang bisa diolah. Menurut penelitian mengenai limitasi Memori kerja sistem kognitif dengan kapasitas terbatas yang dapat menampung informasi sementara yang penting untuk penalaran dan bimbingan pengambilan keputusan dan perilaku, otak kita hanya mampu memproses sebanyak 5 informasi dalam satu waktu spesifik (Li dkk., 2022; Marois & Ivanoff, 2005).
Jika lebih dari itu, memori kerja akan mengalami kesulitan dan membuat produktivitas menurun. Dan orang-orang besar; orang-orang sukses; paham betul persoalan tersebut sehingga mereka menyusun skala prioritas untuk hal-hal yang harus mereka kerjakan. Selain itu, ketika orang-orang sukses tersebut baru bangun tidur, mereka tidak langsung menyibukkan otak mereka dengan informasi-informasi yang berlebihan.
Mereka bangun tidur, tidak langsung bekerja. Mereka bangun tidur lalu olahraga 20 menit, melakukan refleksi diri 20 menit, dan baru mereka memberi sedikit suplemen informasi ke otak melalui kegiatan membaca buku, berita, nonton video, dan sebagainya selama 20 menit juga (Sharma, 2018). Ditambah, mereka tidak pernah menggunakan otak mereka untuk memikirkan sesuatu yang tidak perlu.
Bahkan termasuk untuk urusan yang paling sederhana seperti pakaian. Mark Zuckerberg, CEO dan salah satu founder Meta; serta mendiang Steve Jobs mantan CEO Apple; selalu terlihat menggunakan pakaian yang sama sehingga membuat banyak orang bertanya, apa alasannya? Ternyata alasannya adalah karena otak mereka hanya digunakan untuk pengambilan keputusan yang penting (Yerunkar, 2024).
Bukan untuk memikirkan kasus perselingkuhan artis. Bukan untuk menghujat seseorang di kolom komentar. Sebab itulah mereka terhindar dari dampak buruk globalisasi dan digitalisasi secara psikologis. Mereka tetap bisa mengobrol secara online. Menonton video secara online. Tetapi, mereka membatasi informasi apa yang harus diproses oleh otak mereka.
Berbicara mengenai digitalisasi dan globalisasi juga berbicara mengenai faktor sosiologi. Hari-hari belakangan begitu jamak dapat ditemukan kolektif-kolektif, komunitas, organisasi yang aktif berkegiatan di ruang-ruang digital. akan tetapi, jamak juga kita temukan orang-orang atau kelompok-kelompok yang tadinya sering bergumul menjadi jauh akibat dari digitalisasi dan globalisasi.
Siapakah yang harus disalahkan atas fenomena tersebut? Saya menemukan jawaban itu pada cara Bruno Latour—sosiolog dan filsuf asal Perancis—melihat globalisasi dan digitalisasi (Latour, 2005). Globalisasi bagi Bruno Latour selaiknya menghubungkan satu orang dengan orang lain, satu rt dengan rt lain, satu rw dengan rw lain, satu kelurahan dengan kelurahan lain, satu kecamatan dengan kecamatan lain, satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lain, satu provinsi dengan provinsi lain, satu negara dengan negara lain.
Globalisasi adalah soal membangun koneksi antara 38 provinsi, 416 kabupten, 98 kota, 7.094 kecamatan, 8.506 kelurahan, dan 74.961 desa di Indonesia juga dengan dunia. Bagi Latour, globalisasi adalah lokal di semua titik. Globalisasi bukan perkara menjajah orang lain melalui nilai-nilai atau kebudayaan dari negara lain seolah-olah manusia adalah benda mati yang tidak aktif berperan. Globalisasi selalu perihal melokalkan nilai dari tempat lain di tempat kita. Kitalah yang menentukan apakah kita mau mengadopsinya atau tidak.
Maka, fenomena menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh bukan salah media sosial. Bukan salah smartphone. Tapi salah kita, karena mengadopsi cara yang salah dalam menggunakan teknologi dan kemajuan yang ada. Kutukan sebagaimana yang dikemukakan oleh Sophocles di awal orasi saya, tidak bisa dengan serta merta dilihat hanya sebagai sebuah bencana.
Dalam cerita kontak pandora, isi dari kotak yang dibuka oleh pandora adalah kumpulan dari bencana, penyakit, dan wabah yang dikumpulkan oleh Zeus. Dan kita tahu, bahwa dalam cerita tersebut, ketika bencana, penyakit dan wabah tersebut menyembul keluar dari kotak terdapat satu hal yang tersisa, yakni harapan.
Apakah harapan adalah bencana, penyakit dan wabah? Atau harapan adalah obat dari bencana, penyakit, dan wabah? Kita sendirilah yang menentukannya. Bukan digitalisasi dan globalisasi yang menjauhkan orang-orang di sekitar kita, tapi kitalah yang menjauhkan mereka. Bukan digitalisasi dan globalisasi yang mengikis budaya, kearifan, dan nilai-nilai lokal, tapi kita sendirilah yang memutuskan untuk mengikis budaya, kearifan, dan nilai-nilai lokal itu. ( Prof. Risma Niswaty, S.S.,M.Si.)