Oleh: Dahlan Iskan
DISWAY –– UNTUNG saya bisa pulang: di hari terakhir bulan puasa kemarin. Mahal. Harus beli tiket seharga Rp 14 juta. Untuk sekali jalan. Samarinda-Surabaya.
Alhamdulillah. Bisa pulang.
Lebaran begitu penting –di Indonesia. Energi nasional begitu besar dicurahkan untuk Lebaran.
Itu tidak rasional. Tapi terjadi di mana-mana. Pun di negara tidak bertuhan seperti Tiongkok. Yang kalau Imlek, 400 juta orang yang mudik. Juga di Korea Selatan –di tahun baru mereka. Pun di Amerika. Menjelang liburan Natal.
Dan menjelang Lebaran itu saya justru ke pulau Jawa. Maka selama heboh terakhir minyak goreng, di tempat nun jauh. Saya di pedalaman Kaltim: di Kembang Janggut. Tidak jauh dari tempat pacar saya dulu mengajar –45 tahun lalu.
Maka selama heboh terakhir minyak goreng itu saya sibuk: menggeser-geser pantat agak tidak penat. Juga sulit sinyal. Sampai saya tidak tahu kalau Presiden Jokowi telah meralat keputusan Menko Perekonomian yang meralat keputusan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi).
Saya sampai diejek pembaca Disway: beritanya telat!
Ampuuuuuun.
Mohon maaf lahir batin –orang tua memang lebih banyak salahnya, meski juga lebih banyak uangnya.
Memang saya sok sering menggunakan logika –yang ternyata sering salah juga.
Logika saya: keputusan seorang menko pasti jalan. Dulunya kan begitu. Bahkan lebih jalan dari keputusan siapa pun.
Logika yang lain: tidak mungkin sebuah keputusan seorang menko hanya akan berumur beberapa jam. Istilah ”seumur jagung” pun ternyata masih kepanjangan.
Semua logika saya itu ternyata salah.
Minal Aidin Wal Faizin
Kesalahan saya yang lain: ternyata saya tidak bisa menulis panjang di dalam mobil yang guncangannya mengalahkan goyang Inul di waktu muda.
Maka tulisan edisi kemarin pun ternyata begitu pendeknya. Padahal, banyak pembaca menginginkan tulisan panjang: lagi banyak yang kelebihan waktu di kemacetan mudik.
Semoga segala dosa dan kesalahan saya itu dimaafkan. Maka inilah tulisan agak panjang tentang sesuatu yang dramatis, yang dua hari lalu tidak bisa dimuat –kegeser oleh minyak goreng. Sambil beri saya kesempatan untuk meluruskan pinggang.
***
Senjata Sunat
Lihatlah wajah di foto itu: mirip sekali dengan wajah remaja Indonesia. Rautnya, senyumnya dan ekspresinya. Semua seperti wajah Melayu.
Saat melihat foto itu saya sampai berdoa dalam hati: semoga bukan orang Indonesia. Namanya sih bukan nama Indonesia: Raymond Spencer. Tapi dari nama saja tidak bisa lagi ditebak. Kian ke zaman ini kian biasa anak Indonesia pun punya nama yang jauh dari bau Aryo Mbediun, Priyadi, atau Putu Leong. Umur Raymond: 23 tahun.
Anak ini tinggal di lantai lima apartemen AVA Van Ness, di bagian utara ibu kota Amerika Serikat, Washington DC.
Ia tinggal sendirian. Ups tidak. Ia punya teman khusus: enam senjata api. Salah satunya laras panjang. Senjata panjang itu ia pasang di atas tripod setinggi kaca jendela di kamarnya itu. Moncong senjata itu ia hadapkan ke jalan raya di bawah sana. Bisa juga diputar ke arah sekolah agak di samping gedung apartemen itu.
Dari kamar di lantai 5 itulah Raymond membidikkan senjata. Ia menembak siapa saja yang lewat di jalan itu. Juga menembak gedung sekolah. Lebih 100 peluru dimuntahkan. Seorang wanita muda, seorang lagi wanita 60 tahunan, dan seorang anak kecil terkena tembakan Raymond. Beruntung tembakannya kurang jitu. Para korban bisa dilarikan ke rumah sakit. Kondisi mereka stabil.
Begitu banyak kaca pecah: kaca toko roti, toko kaca mata, kaca di gedung sekolah, dan yang ada di sekitar situ.
Kejadiannya: Jumat sore lalu. Sekitar jam 15.30. Itu jam ramai. Ketika anak sekolah waktunya pulang. Banyak juga yang menjemput mereka.
Di situ juga ada kampus universitas terkenal: Howard University. Ada juga sekolah The Edmund Burke.
Senjata laras panjang Raymond dilengkapi layar pengintai sasaran. Dengan tanda yang Anda sudah pasti tahu: garis silang. Untuk menandai sasaran yang akan ditembak sudah tepat di tengah garis silang itu.
Polisi memang segera menerima pengaduan. Rentetan tembakan itu sangat keras. Beruntun. Menakutkan. Lima bunyi tembakan terdengar berentetan. Lalu berhenti. Terdengar lagi lima tembakan beruntun. Berhenti lagi. Terus seperti itu. Sampai sekitar 100 kali tembakan.
Polisi kesulitan mencari sumber tembakan. Tidak ada orang membawa senjata di sekitar itu. Awalnya tidak disangka kalau penembakan kali ini bergaya sniper.
Ternyata Si Sniper merekam semua nya. Kelihatannya ada kamera khusus dipasang di badan Raymond. Yakni seperti kamera yang biasa dipasang di dashboard mobil.
Rekaman video itu juga diunggah ke medsos. Oleh Raymond sendiri. Salah satunya di media 4chan. Terlihat di rekaman itu: sasaran tembak yang di tengah garis silang. Terekam juga anak-anak yang lagi berlari ketakutan.
Polisi pun turun ke lokasi. Dengan konfigurasi besar. Dari berbagai kesatuan. Jalan utama di depan sekolah itu ditutup: Van Ness Street dan Connecticut Avenue NW. Bayangkan betapa gentingnya. Itu salah satu jalan teramai di Washington BC. Kedutaan besar banyak negara ada di dekat situ.
Akhir pekan pula. Maka dikeluarkanlah seruan umum. Termasuk lewat aplikasi: agar semua orang jangan keluar rumah. Yang di kawasan itu. Dan bagi yang masih di jalan-jalan agar mencari tempat perlindungan.
Dari luka yang jadi sasaran tembak disimpulkan: penembakan dilakukan dari arah atas. Berarti dari ”gedung itu”. Yakni apartemen AVA Van Ness.
Polisi pun mengepung apartemen AVA Van Ness. Tapi tidak segera diketahui dari lantai berapa. Penghuni apartemen diminta meninggalkan rumah. Pintu jangan dikunci. Polisi akan masuk ke apartemen: memeriksa satu per satu kamar di situ.
Raymond melihat pergerakan polisi dari atas. Ia pun tahu: banyak polisi menuju AVA Van Ness. Itulah yang kelihatannya diam-diam ia harapkan: polisi menemukan dirinya.
Maka Raymond buru-buru posting di medsos: “Waiting for police to catch up with me.” Ia menunggu polisi untuk menangkapnya. “Dear God please forgive me,” tulisnya di medsos itu.
Polisi pun tiba di lantai 5. Mendobrak pintu itu. Raymond pun ditemukan: mati terkapar di lantai kamar mandi. Ia bunuh diri.
Raymond tidak bisa ditanya lagi: suku apa, agama apa, dan yang terpenting: mengapa ia melakukan semua itu. Yang jelas, semua senjata itu resmi. Bukan senjata gelap.
The Beast berhasil menemukan teman sekolah Raymond. Yakni ketika sama-sama di SMP Katolik di Rockville, Maryland, seketapel dari DC.
Dia seorang mahasiswi, umur 22 tahun. Dia berteman dengan Raymond selama tiga tahun di SMP itu: di kelas 6,7 dan 8.
Semua teman sekelas mengenal Raymond dengan baik. “Raymond yang paling pendek di antara teman sekelas,” ujar mahasiswi itu. Hanya setinggi matanyi.
Itu sudah 10 tahun lalu. Sejak itu tidak ada kontak. “Bertemu terakhir ya di layar TV, di peristiwa penembakan Jumat sore lalu itu,” katanyi. “Setelah kelas 8 ia masuk SMA Negeri,” katanyi.
Waktu itu sih Raymond anak yang suka tersenyum. Juga mudah bergaul meski lebih senang menyendiri.
Raymond juga punya dua saudara di SMP itu: kakak kelas dan adik kelas. Selebihnya dia tidak tahu lagi. Dia hanya tidak menyangka kehebohan itu dilakukan teman sekelasnyi.
Jumat sore itu harusnya dia ke kampus. Ada perayaan. Tapi dia memutuskan tidak hadir. “Saya merasa beruntung,” katanyi.
Rupanya Raymond tidak hanya posting di medsos. Begitu selesai melakukan serentetan penembakan itu ia juga mengedit Wikipedia sekolah di situ: di Edmund Burke Wikipedia.
Raymond menambahkan informasi di halaman Wikipedia itu. Dengan informasi yang benar. Dan baru saja terjadi. Maka ada tambahan kalimat di Wikipedia sekolah tersebut: “seorang penembak senjata api menembak sekolah ini di tanggal 22 April 2022. Pelakunya masih belum ditemukan”.
Ia juga menyertakan namanya, Spencer, sebagai orang yang bertanggung jawab atas penambahan informasi di Wikipedia itu. Ia pun menyebutkan siapa Spencer: “orang yang bangga karena tidak disunat dan seorang penggemar senjata AR-15 aficionado”.
Kenapa Raymond mem-posting aksinya di medsos? Ternyata ia tahu akan mati. Rupanya ia sudah punya keputusan untuk bunuh diri. Tapi ia takut kematiannya tidak dikenang siapa pun.
Raymond memilih mati dengan sangat terkenal. Hanya saya tidak berhasil memperoleh identitasnya: orang asal mana. Pun setelah tulisan ini saya tunda dua hari. Rasanya Raymond menunggu hasil penyelidikan bung Mirza.
Luar biasa banyaknya kasus tembak-menembak di Amerika belakangan ini. Di mana-mana. Termasuk di stasiun, di mal, dan di tempat pesta remaja. Rasanya dalam hal tembak-menembak Amerika saat ini sudah mengalahkan keadaan di Afghanistan.
Hanya saja penembakan-penembakan di Amerika itu dilakukan secara benar, sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak asasi. (*)