Oleh: Dahlan Iskan
PANDEMI mulai dingin, politik mulai panas. Di Hong Kong. Terutama di Pakistan.
Naiknya harga-harga telah menjadi amunisi bagi oposisi di Pakistan untuk bermanuver. Begitu sulit menjadi pemimpin yang harus melewati masa pandemi yang panjang.
Apalagi seperti Pakistan, yang tidak punya sumber minyak: harga BBM-nya naik luar biasa. Diikuti oleh kenaikan harga pangan.
Memasuki hari pertama puasa, parlemen Pakistan bersidang. Agendanya gawat: mosi tidak percaya pada Perdana Menteri Imran Khan.
Dua partai besar yang mengajukan mosi itu –PPP dan PML– begitu yakin Imran akan jatuh hari itu. Lobi-lobi dua partai itu berhasil meyakinkan 17 anggota DPR dari pendukung pemerintah: ikut setuju menjatuhkan Imran.
Hitungan mereka begitu meyakinkan: 173 kursi, dikurangi 17 kursi tinggal 156 kursi.
Padahal untuk terpilih jadi perdana menteri harus mendapat suara paling tidak 172 kursi –dari jumlah kursi DPR yang 342 kursi.
Politik di Pakistan pun menghadapi krisis. Sidang parlemen di hari Minggu kemarin itu penuh dengan trik –saling adu strategi.
Imran hanya bisa menghindari mosi itu dengan satu cara: parlemen harus dibubarkan. Presiden berhak membubarkannya asal ada alasan yang kuat.
Strategi Imran Khan itu jitu –untuk sementara. Pimpinan sidang dipegang wakil ketua –dari partai PTI –Pakistan Tehreek-e-Insaf yang dipimpin Imran.
Hari itu pimpinan sidang langsung menyatakan: pemungutan suara tidak bisa dilakukan. Parlemen sudah dimintakan untuk dibubarkan.
Ribut. Saling interupsi. Ricuh, meski tidak sampai berantem secara fisik. Sidang langsung ditutup.
Pihak oposisi langsung menggugat pimpinan sidang ke Mahkamah Agung. Sikap pimpinan sidang itu dianggap kudeta pada konstitusi.
“Tugas pimpinan sidang adalah memimpin rapat sesuai dengan acara,” ujar pihak oposisi seperti disiarkan media di Pakistan. “Pimpinan sidang tidak berhak mengambil putusan seperti itu,” tambahnya.
Mahkamah Agung segera menyidangkan kasus ini. Sidang dimulai hari ini –bahkan kemarin, hanya sehari setelah peristiwa itu. Kini persoalan pindah ke pengadilan.
Setidaknya Imran bisa bernapas. Sambil melakukan gerilya pada anggota koalisi yang membelot. Imran bisa merayu mereka atau, kalau perlu, menggertak mereka.
“Mereka akan saya maafkan. Dengan sesungguh maaf. Seperti bapak memaafkan anak,” ujar Imran merayu. Tapi kepada yang bersikap keras Imran juga keras.
“Mereka itu anak durhaka. Mereka seperti anak yang melawan bapaknya. Moral mereka rusak. Mereka akan seperti anak yang tidak akan bisa dapat jodoh,” ujar pimpinan partai lainnya.
Bahkan, bisa saja pemerintah menangkap satu atau dua orang dari pembelot itu. Tuduhan bisa dicari, misalnya, korupsi.
“Tidak pernah pemerintah menangkap tokoh oposisi tanpa tuduhan,” ujar pendukung pemerintah. Sudah banyak oposan yang disatroni pemerintah seperti itu.
Dengan kehilangan suara dua orang saja, mosi tidak percaya itu akan gagal – -seandainya Mahkamah Agung memutuskan pemungutan suara harus dilaksanakan.
Skenario lainnya sudah siap: sebelum pemungutan suara, justru parlemen yang sudah dibubarkan. Berarti Imran masih tetap bisa menjadi perdana menteri sampai Pemilu yang baru dilaksanakan – -paling lambat 90 hari setelah pembubaran parlemen.
Partai pertama yang keluar dari koalisi adalah Balochistan Muttada Party –satu partai lokal di provinsi miskin Balochistan.
Kenaikan harga-harga belakangan ini memang sangat dirasakan di daerah miskin seperti Balochistan. Partai ini punya 7 kursi. Selebihnya dari lima partai kecil yang hanya punya 1 atau 2 kursi.
Awalnya Imran Khan adalah harapan baru bagi Pakistan. Terutama untuk keluar dari persaingan tiada henti antara dua dinasti politik di sana: Bhutto dan Sharif.
Imran memang orang baru di politik. Ia ”hanyalah” atlet nasional dari cabang olahraga paling populer di Pakistan: kriket.
Di masa Imran jadi pemain nasional Pakistan berhasil menjadi juara dunia. Namanya sangat harum –dengan konsekuensi gosip soal wanitanya juga sangat meriah.
Ia tidak membuat partai baru. Imran justru masuk partai lama, partai tengah, yang menerimanya sebagai pemimpin baru.
Sebagian rakyat yang sudah muak dengan persaingan dinasti di sana pindah memilih PTI. Pemilu 2018 pun dimenangkannya. Dapat kursi 155.
Untuk Pakistan yang multi partai, menang dengan 155 kursi itu sudah istimewa. Tinggal cari 17 kursi untuk membangun koalisi.
Di awal pemerintahannya Imran terasa sangat sejuk. Ia ingin mengakhiri konflik abadi Pakistan dengan India –sesama negara pecinta kriket.
Ketika pesawat tempur India memasuki wilayah Pakistan –dan pesawat itu jatuh– Imran langsung memulangkan pilot militer itu. Ia merasa punya banyak teman sesama pemain nasional kriket di India.
Ia juga meneruskan pembangunan jalan khusus –jembatan layang– dari India menuju Pakistan.
Itu untuk menghubungkan wilayah India dengan sebuah tempel agung agama Sikh yang dibangun di wilayah Pakistan. Itulah tempel Guru Nanak yang dianggap sangat suci.
Tempel itu berada di negara Islam Pakistan karena dibangun sebelum dua negara itu berpisah. Dengan demikian umat Sikh di India bisa sembahyang di tempel itu –seperti tidak ke luar negeri.
Waktu ke India sebelum pandemi, saya melihat jalan layang itu hampir selesai. Dari wilayah India saya bisa memotret tempel Sikh di negara Islam Pakistan –hanya sepelemparan batu, begitu dekatnya.
Imran juga menjalin hubungan dengan Afghanistan. Termasuk saat Taliban berkuasa kembali. Ini membuat Amerika marah: Pakistan telah jadi tempat bersembunyi tokoh-tokoh Taliban.
Hubungan Pakistan dengan Arab Saudi juga sangat mesra. Pun dengan Qatar dan Uni Emirat Arab.
Imran ternyata juga meneruskan kebijakan Perdana Menteri Nawaz Sharif: menjalin hubungan ekonomi yang sangat kuat dengan Tiongkok. Begitu banyak proyek Tiongkok di Pakistan. Begitu sering Imran ke Beijing.
Amerika sangat tidak happy dengan Imran. Maka secara terbuka Imran menuduh mosi tidak percaya di parlemen itu didalangi oleh Amerika.
Ia membuka nama diplomat Amerika yang menjadi dalangnya. Imran memang merasa tidak mendapat dukungan dari militer –yang selalu lebih pro ke Amerika.
Kini Pakistan kembali memasuki masa tidak menentu. Imran pun ternyata sama: tidak bisa menjadi pemimpin satu periode penuh lima tahun. Belum pernah ada.
Dalam sejarah Pakistan yang sudah 75 tahun memisahkan diri dari India semua pemimpinnya berhenti atau mati tertembak di tengah jalan.
Mungkin itu sudah nasib Pakistan. Juga nasib Imran Khan: usaha pembangunannya disabot Covid-19. Selama dua tahun.
Ketika Covid mereda Rusia menyerang Ukraina. Naiknya harga minyak dan gandum memukul keras dua sendi utama kehidupan rakyat Pakistan.
Mereka harus beli bahan bakar dan harus makan gandum. Kita memang juga harus beli bahan bakar tapi makannya nasi. (*)