DISWAY, Makassar – Sidang gugatan praperadilan yang dimohonkan oleh Tim Penasehat Hukum (PH) tersangka dugaan penganiayaan di Polsek Rappocini, inisial MF kembali digelar di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis, 2 Juni 2022.
Kali ini giliran Tim PH tersangka selaku pemohon praperadilan membacakan materi tangkisan (replik) atas jawaban termohon praperadilan yang dibacakan pada sidang sebelumnya.
Di hadapan Hakim tunggal praperadilan, Sutisna, Tim PH tersangka yang diwakili oleh Alfiansyah Farid membacakan utuh materi replik atas jawaban termohon praperadilan.
Pertama, kata dia, pihaknya selaku pemohon praperadilan akan tetap berpegang teguh terhadap dalil-dalil awal materi praperadilan dan secara tegas menolak semua yang didalilkan termohon dalam jawabannya yang dibacakan pada tanggal 31 Mei 2022, kecuali yang secara tegas dan jelas diakui kebenarannya oleh pemohon.
Kedua, lanjut Alfiansyah, bahwa pihaknya menilai dalil termohon dalam jawabannya yang mengatakan bahwa terhadap dalil-dalil pemohon permohonan praperadilan yang sama sekali tidak menyangkut aspek yuridis, itu terkesan mengada-ada dan tanpa dasar yang jelas.
“Bahwa permohonan praperadilan pemohon telah menyangkut aspek yuridis secara formil, dengan objek praperadilan pemohon tentang sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka berdasarkan dalil pada analisa yuridis dengan memuat KUHAP sebagai pedoman dari aspek yuridis formil,” ucap Alfiansyah dalam repliknya.
Ketiga, kata Alfiansyah, bahwa terhadap dalil jawaban termohon yang pada pokoknya menerangkan bahwa dalam dalil gugatan pemohon yang menyebutkan nama Lk. Awal dan Lk. Excel terduga pelaku dalam perkara a quo di mana kedua orang tersebut tidak memberikan kuasa kepada kuasa hukum pemohon praperadilan sehingga pendapat pemohon harus dikesampingkan karena tidak mewakilkan kepentingan hukum kepada kuasa pemohon, maka pemohon menanggapi bahwa dalil jawaban tersebut juga harus dikesampingkan oleh majelis yang memeriksa perkara a quo.
Karena terduga pelaku Lk. Awal dan Lk. Excel bersama dengan Lk. Farhan sebagai pemohon praperadilan melalui kuasa hukumnya, kata Alfiansyah, adalah suatu proses rangkaian kronologis dalam fakta-fakta hukum dan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dalam proses pemeriksaan secara formil dalam berkas perkara yang satu dan/atau sama.
“Sehingga dalam pemeriksaan pada sidang praperadilan ini dapat menguji kebenaran formil suatu keabsahan proses pemeriksaan di tingkat kepolisian pada berkas perkara yang sama dan tidak terpisahkan serta memuat nama pemohon, Lk Awal dan Lk. Excel yang diduga melakukan tindak pidana dalam perkara a quo,” jelas Alfiansyah dalam repliknya.
Selanjutnya, ia juga menilai dalil jawaban termohon yang pada pokoknya menerangkan bahwa termohon dalam melakukan interogasi dalam bentuk permintaan keterangan maupun pemeriksaan dan dalam bentuk BAP tidak dalam menggunakan cara-cara intimidasi disertai kekerasan fisik dan pemohon memberikan keterangannya secara bebas dari bentuk fisik ketiga terduga pelaku serta tidak mengalami luka-luka maupun tekanan batin, juga harus dikesampingkan terlebih dahulu.
Karena, lanjut Alfiansyah, dalil tersebut nanti akan diuji kebenarannya secara formil dan akan dibuktikan pada agenda sidang pembuktian berikutnya. Sekaligus menegaskan bahwa yang menjadi dasar pemohon mendalilkan keterangan tersebut melalui hasil keterangan yang dihimpun dari pemohon beserta terduga pelaku lainnya yang telah diperoleh dengan menerangkan ketika dalam proses pemeriksaan BAP oleh penyidik, di mana disebutkan bahwa termohon melakukan intimidasi disertai penyiksaan hingga pada aksi kekerasan fisik dengan memukulkan kayu di badan pemohon dan para terduga pelaku lainnya dalam keadaan telanjang dada jika keliru dalam memberikan keterangan kepada penyidik termohon.
Keabsahan keterangan yang diperoleh penyidik termohon, lanjut Alfiansyah dalam repliknya, harus diuji dalam persidangan ini.
“Selanjutnya mengenai tidak ditemukan luka-luka yang diderita oleh pemohon dan terduga pelaku lainnya, itu karena posisi pemohon pada saat itu berada dalam tahanan dan dalam kondisi mental psikisnya terganggu oleh akibat adanya tindakan kekerasan yang mengakibatkan ketakutan sehingga pemohon tidak mungkin disarankan dan/atau di bawah oleh termohon untuk melakukan Visum Et Repertum,” terang Alfiansyah.
Tak hanya itu, dalam repliknya, pemohon turut menanggapi dalil jawaban termohon yang pada pokoknya menerangkan bahwa perbedaan dasar laporan polisi yang ada pada surat perintah penangkapan dengan dasar laporan polisi pada surat perintah penahanan bukan suatu hal membatalkan penangkapan.
“Dalam melihat dalil termohon tersebut, termohon seakan menormalisasikan kesalahan dari administrasi yang paling fundamental yang telah dilakukan oleh termohon sehingga berpotensi merugikan banyak pihak lain. Apabila tidak segera diperbaiki ditingkat penyidikan dan akan tetap dilanjutkan sampai tingkat penuntutan, maka vonis dan/atau putusan mengakibatkan kesalahan yang berdampak merugikan,” terang Alfiansyah dalam repliknya.
Ia mengatakan, dalam Laporan Polisi yang menjadi dasar dalam Surat Perintah Penangkapan untuk melakukan penangkapan terhadap pemohon berbeda dengan dasar Laporan Polisi dalam Surat Perintah Penahanan untuk melakukan penahanan terhadap pemohon.
“Dengan tidak adanya kejelasan terhadap dasar Laporan Polisi tersebut, karena adanya dua nomor Laporan Polisi yang berbeda dan dijadikan dasar masing-masing pada Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan dan kemudian juga pada Surat Perintah Penangkapan format tanggal dikeluarkannya surat tersebut kosong dan/atau tidak mencantumkan tanggal, sehingga surat-surat yang menjadi syarat administrasi secara formil terhadap pemohon tidak jelas atau kabur,” ungkap Alfiansyah.
Selanjutnya terhadap dalil jawaban termohon yang pada pokoknya menerangkan bahwa termohon telah menyampaikan hak-hak pemohon pada saat diperiksa BAP sebagai tersangka, kata Alfiansyah, itu harus ditolak. Karena, lanjut dia, dalam pemeriksaan BAP, penyidik termohon tidak memberikan bantuan hukum terhadap pemohon sebagai tersangka untuk didampingi oleh Penasihat Hukum pada proses pemeriksaan.
“Sehingga sangat berpotensi dalam pemeriksaan tersebut mengalami kesewenang-wenangan, tidak fair dan tidak berimbang serta tidak tercapainya suatu azas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sementara pasal yang diterapkan terhadap pemohon yaitu pasal 80 ayat (2) dan (3) Jo Pasal 76C UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman pokok 15 tahun penjara,” lanjut Alfiansyah dalam repliknya.
Menjadi hal yang wajib, kata Alfiansyah, bagi termohon untuk memberikan bantuan hukum pada proses pemeriksaan BAP berdasarkan pasal 56 ayat (1) KUHAP. Di mana dalam pasal tersebut menerangkan bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri.
Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, lanjut dia, wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi mereka.
“Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1565 K/Pid/1991 juga menerangkan bahwa penyidikan yang melanggar pasal 56 ayat (1) KUHAP menyebabkan hasil penyidikan yang tidak sah, sehingga dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima,” ucap Alfiansyah.
Kemudian dalam repliknya, Alfiansyah juga mengungkapkan bahwa terhadap dalil jawaban termohon yang menerangkan bahwa tidak benar termohon mengintimidasi adegan per adegan yang dilakukan oleh tersangka, melainkan kuasa pemohonlah yang hadir di lokasi rekontruksi terlalu mengintervensi dan mengarahkan para pelaku untuk tidak koperatif dalam setiap adegan serta hasil adegan dalam rekontruksi terlihat pemohon melakukan penganiayaan dan telah menandatangani berita acara rekontruksi, namun pihak pengacara arogan dan tidak mau menandatangani berita acara rekontruksi dalam perkara a quo, itu harus dikesampingkan dan harus dibuktikan kebenarannya, karena rekontruksi adalah bagian dari pemeriksaan BAP tambahan untuk membuat terang peranan masing-masing dalam tindak pidana yang dimaksud.
Dalam hal ini, lanjut Alfiansyah, pemohon tegas menolak untuk memperagakan rekontruksi dan hal tersebut merupakan hak pemohon sebagai tersangka, sebab pemohon sebagai tersangka tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan.
Pemohon pada saat akan dilakukan rekontruksi dengan tegas memberikan keterangan di muka umum bahwa pada saat dilakukan BAP pertama, pemohon dipaksa untuk mengakui perbuatannya, disertai penyiksaan berujung kekerasan dipukul dalam keadaan telanjang dada menggunakan kayu jika salah dalam memberikan keterangan.
Keterangan pemohon tersebut, kata Alfiansyah, didengar oleh pihak-pihak yang menghadiri rekontruksi tersebut, selanjutnya termohon tetap memaksakan proses rekontruksi dengan dalih bahwa sesuai isi keterangan BAP, pemohon harus memperagakan sesuai isi-isi keterangan BAP yang diperoleh.
Hal tersebut, kata dia, sejalan dengan asas non-self incrimination seorang tersangka di mana berhak untuk tidak memberikan keterangan termasuk (rekontruksi) yang akan memberatkan dan/atau merugikan pemohon di muka persidangan, apalagi dalam hasil pemeriksaan BAP tersebut ditemukan menggunakan cara-cara kekerasan dan intimidasi.
Selanjutnya, mengenai dalil jawaban termohon yang menyatakan bahwa pemohon melalui kuasanya ‘arogan’, kata Alfiansyah, adalah hal yang sangat keliru dan sangat disayangkan dan itu akan berpotensi fitnah dan/atau pencemaran nama baik jika tidak bisa dibuktikan.
“Sangat jelas demi kepentingan hukum pemohon dalam pendampingan pemeriksaan berdasarkan surat kuasa, kuasa hukum berhak melakukan pembelaan jika hal tersebut tidak saling berkesesuaian antara keterangan dan reka adegan. Maka dalil termohon harus dibuktikan jika kuasa pemohon “arogan” dalam menghadiri proses rekontruksi. Selanjutnya mengenai tanda tangan berita acara rekonstruksi dalil termohon itu juga mengada-ada dan tidak benar adanya, karena hingga akhir proses rekontruksi kuasa pemohon tidak diberikan berita acara rekontruksi oleh termohon untuk ditanda-tangani, melainkan penandatanganan berita acara rekonstruksi tersebut ditandatangani oleh pemohon tanpa sepengetahuan dari kuasa pemohon,” beber Alfiansyah dalam repliknya.
Tak sampai di situ, dalam repliknya, Alfiansyah turut menyinggung dalil jawaban termohon menyangkut dengan point kronologis penanganan perkara dan point penetapan pemohon sebagai tersangka, di mana pemohon tidak menanggapi satu persatu dalil-dalil termohon menyangkut hal tersebut.
Namun, kata Alfiansyah, mengenai Surat Perintah Penyitaan yang terbit di tanggal 28 Maret 2022, Surat Perintah Penangkapan terbit di tanggal 28 Maret 2022, Surat Perintah Penyidikan terbit di tanggal 28 Maret 2022, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan terbit di tanggal 28 Maret 2022, gelar perkara penetapan tersangka dilaksanakan pada tanggal 28 Maret 2022, dan Surat Penetapan Status Tersangka terbit pada tanggal 28 Maret 2022 tersebut, menjadi pertanyaan kemudian pihaknya.
“Bagaimana bisa menetapkan tersangka di tanggal yang sama pada tanggal 28 Maret 2022 bersamaan dengan Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penyidikan, dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan?. Bukankah hal tersebut terkesan terburu-buru, dengan merujuk pada putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 menerangkan bahwa penetapan tersangka adalah hasil akhir dari penyidikan dan harus memiliki alat bukti yang sah, sehingga penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang,” terang Alfiansyah dalam repliknya.
Mahkamah, kata dia, berpendapat, dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
“Dengan demikian, seorang penyidik di dalam menentukan ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang”, sebab KUHAP tidak memiliki check and balance system atas penetapan tersangka oleh penyidik, karena tidak adanya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti, sehingga melalui pranata praperadilan tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti dapat dilakukan pengujian keabsahan atas perolehannya,” Alfiansyah menandaskan dalam repliknya.
Usai mendengarkan pembacaan replik oleh Tim PH tersangka dugaan penganiayaan yang disebut sebagai pemohon praperadilan, Hakim lalu memberikan kesempatan kepada termohon praperadilan dalam hal ini Polsek Rappocini diwakili oleh Tim Bidkum Polrestabes Makassar untuk memberikan tanggapan (duplik) pada sidang berikutnya.
“Besok usai salat jumatan kita sidang yah. Silahkan pihak termohon bacakan dupliknya,” singkat Hakim tunggal praperadilan, Sutisna selanjutnya mengakhiri persidangan.***