Oleh: Dahlan Iskan
DISWAY — HABIS Lebaran nanti Guntur Sukarnoputra menerbitkan buku baru lagi. Tentang operasi intelijen yang pernah ia ketahui di Indonesia. Terutama selama Guntur mendampingi ayahnya, Bung Karno, presiden pertama Indonesia.
Rupanya Guntur terus menulis buku. Empat bulan lalu Guntur baru saja menerbitkan buku kedua. Judulnya Catatan Merah.
Dari judul itu Guntur ingin menegaskan betapa pentingnya informasi yang ada di dalam buku. “Ini semacam Red Notes, kalau di negara Barat,” ujar Ahmad Basarah, editor buku itu.
Basarah adalah wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ia juga salah satu ketua DPP PDI-Perjuangan.
Lahir di Jakarta 53 tahun lalu, Basarah beberapa periode jadi anggota DPR. Juga pernah menjadi ketua fraksi PDI-Perjuangan. Ia adalah pendorong berdirinya organisasi sayap Islam di partai itu: Baitul Muslimin Indonesia.
“Dua tahun terakhir ini Mas Guntur banyak sekali merenung, membaca, dan mengartikulasikan pikirannya lewat tulisan,” ujar Basarah.
Tulisan-tulisan putra pertama Bung Karno itu memang menarik. Enak dibaca. Mengalir lancar. Banyak pula unsur human interest-nya.
Misalnya tulisan yang akan menjadi salah satu bagian di bukunya nanti. Yang menceritakan seorang wanita muda yang sangat cantik. Wanita itu sering ke Istana. Bung Karno sudah menganggap seperti anak angkatnya sendiri. Ternyata dia intelijen Amerika, CIA, yang dipasang di Indonesia.
Saya membacanya kemarin dulu. Di medsos. Banyak bagian yang saya kutip di sini. “Tulisan itu memang sengaja dipublikasikan dulu. Lalu akan disatukan dengan tulisan lain sejenis ke dalam sebuah buku,” ujar Basarah.
“Papa memang produktif sekali selama pandemi Covid-19,” ujar Puti Guntur Soekarno, putrinya. Itu dikatakan saat peluncuran buku Catatan Merah akhir tahun lalu.
Krisdayanti, penyanyi yang juga anggota DPR dari PDI-Perjuangan ikut hadir saat itu.
Menyanyi. Pakai baju kebaya. Cantik sekali. Baru kali itu saya melihat foto Krisdayanti pakai kebaya. Netizen memuji-muji keluwesannya dalam pakaian kebaya.
Banyak tokoh yang hadir kala itu. Termasuk mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Hendropriyono. Di situ Hendropriyono mengungkapkan keterangan, yang bagi saya baru: Bung Karno pernah punya cita-cita yang sangat revolusioner. Yakni melakukan percobaan bom atom di Indonesia. Tanggal percobaannya pun sudah ditetapkan: 5 Oktober 1965.
Tentu percobaan itu tidak jadi. Lima hari sebelum itu terjadi kudeta G30S/PKI –yang konon didalangi CIA. Bung Karno pun dijatuhkan dari kekuasaan.
Tulisan berjudul “Soekarno dan CIA” yang saya baca di medsos kemarin ditulis Guntur setelah terinspirasi berita di Kompas. Yakni terungkapnya intel Iran Gaseem Saberi Gilchalan, yang memalsukan belasan paspor untuk kepentingan intelijen.
Begitu banyak intel Inggris dan Amerika di Indonesia. Berbagai cara pun dilakukan.
Menurut Guntur, intel CIA seperti Bill Palmer sudah muncul di Yogyakarta tahun 1946.
Yakni ketika pemerintah pusat hijrah ke Yogya untuk mempertahankan kemerdekaan.
“Mas Guntur itu banyak tahu, karena sering diajak Bung Karno. Sejak kecil,” ujar Basarah kemarin.
Di tahun yang Anda pun belum lahir itu, Palmer sudah bisa masuk Gedung Negara Yogyakarta. Yakni ketika ada acara di ”Istana Jogja” itu. “Meski samar-samar masih terekam di ingatan wajah dan sosok tubuhnya yang gempal, berbicara serius dengan BK,” tulis Guntur.
“Orangnya sangat ramah dan kelihatannya penuh humor diselingi tawa terbahak-bahak”.
Setelah lama tidak kelihatan, Bill Palmer muncul lagi ketika BK ke AS pada 1956. Guntur juga diajak kunjungan kenegaraan itu.
Di Washington DC, tulis Guntur, Bill datang ke penginapan BK di Blair House. “Seperti biasa, ia kemudian berbincang-bincang gembira dengan BK layaknya sahabat lama yang bertemu lagi”. “Saat itu, tubuhnya sudah gemuk dan agak botak”.
Saat hendak meninggalkan penginapan, tulis Guntur, Bill menyodorkan uang USD 200 kepadanya. Katanya, untuk berbelanja.
“Ketika itu tak ada kecurigaan sedikit pun dari tim khusus Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden”.
Bill, tulis Guntur, juga terlihat di semua kota yang dikunjungi BK. Mulai dari New York, pusat industri mobil di Detroit, hingga pusat pendidikan pasukan khusus AA di Fort Bragg.
“Yang dilakukan hanya ngobrol dengan pejabat-pejabat Indonesia seperti Menlu Roeslan Abdulgani, Sekretaris Negara Mr Tamsil, dan Komandan DKP Mangil Martowidjojo”.
“Palmer muncul lagi di Istana Merdeka Jakarta tahun 1957. Jabatannya direktur American Motion Picture Association yang berkantor di gedung United States Information Service (USIS) di sebelah Istana Negara”.
Berarti, kali ini, Bill berkedok sebagai importer film-film Hollywood. Belakangan diketahui Bill terlibat pemberontakan PRRI dan Permesta. Di Sumbar dan di Sulut.
“Walau sudah mendapat informasi itu, Bung Karno sebagai presiden tak dapat berbuat apa-apa. Pasalnya, Bung Karno tak memiliki bukti-bukti kuat untuk mengambil tindakan terhadap Palmer.
Baru pada 1960-1962, kedok Palmer terungkap ketika dia tertangkap basah tengah membagikan senjata kepada anak buah pemimpin DI/TII Kartosuwiryo. Ia tepergok di vilanya yang berlokasi di perkebunan teh Gunung Mas, Puncak oleh pasukan Kujang 1 Siliwangi.
Palmer diusir dari Indonesia. Tapi intel CIA terus beroperasi di Indonesia. Terungkap lagi saat Indonesia sedang berupaya membebaskan Irian Barat (kini Papua).
“CIA menyewa seorang penerbang pengebom B-26 berkebangsaan AS dan mengebom kota Ambon…”. Pilot tersebut adalah Allen Lawrence Pope… kemarahan Bung Karno memuncak”.
Setelah itu, 19 Desember 1961, di Alun-alun Yogyakarta, Bung Karno mengumandangkan Trikora untuk pembebasan Irian Barat.
“Boleh dikatakan, saat itu kekuatan Angkatan Perang RI yang terkuat di antara negara-negara Asia, kecuali China. AURI (sebelum menjadi TNI-AU) dilengkapi beberapa skuadron jet tempur MiG-15, MiG-17, MiG-19, dan MiG-21 yang berpeluru kendali.
Skuadron pengebom terdiri dari pesawat-pesawat Ilyushin-28 dan pengebom jarak jauh TU-16 dengan berpeluru kendali. Juga skuadron pesawat angkut Antonov dan sebagainya.
Angkatan Laut (AL) dilengkapi alutsista canggih, terdiri dari armada kapal perang jenis korvet, kapal perusak (destroyer), dan penjelajah RI-Irian, sebagai kapal bendera (flagship), termasuk 12 kapal selam”.
“Korps Komando Operasional (KKO) AL bahkan dilengkapi tank-tank amfibi PT-76 dan peluncur roket berlapis Katyusha”.
Pesawat Pope itu pun berhasil dijatuhkan tentara Indonesia. “Meskipun dapat menyelamatkan diri dengan parasutnya, Pope ditangkap pasukan TNI di sekitar Ambon. Setelah sembuh dari luka-lukanya, ia kemudian diseret ke Pengadilan Militer di Jakarta dan dijatuhi hukuman mati”.
Guntur pun lantas menulis sisi kemanusiaan Bung Karno. “Sebelum eksekusi dilaksanakan, istri Pope datang ke Jakarta dan menemui Bung Karno dengan menangis tersedu-sedu agar suaminya diampuni dan diberi grasi.
Bung Karno yang tak tahan melihat air mata wanita, akhirnya memberikan grasi dan pengampunan kepada Pope. Namun, Bung Karno memberi syarat. Pope harus menghilang dari muka umum di AS tanpa publikasi sama sekali”.
“Selain itu, Bung Karno meminta pemerintah AS mengganti kebebasan Pope dengan membangun sebuah jalan bebas hambatan di Jakarta. Jalan itu dikenal sebagai Jakarta Bypass yang pada 1960-an merupakan jalan paling mulus di Indonesia. Kini, jalan itu dikenal dengan nama Jalan Gatot Subroto”.
Beruntung Guntur mau menuliskan semua itu. Termasuk tidak menutup-nutupi sikap BK yang mudah terharu.
Di tulisan itu Guntur masih mengungkap operasi intelijen yang lebih seru lagi. “… yang paling spektakuler adalah saat menyelinapnya seorang agen wanita CIA yang mengaku mahasiswi AS yang tengah tugas belajar dan mempelajari budaya Indonesia. Ia berhasil masuk ke lingkungan keluarga Bung Karno di Istana Merdeka. Seperti yang saya ceritakan dalam buku Bung Karno, Bapakku, Kawanku, Guruku (1977), mahasiswi itu berwajah cantik, dada montok, pinggul ranum, paha dan betis serta kulitnya kuning tanpa berbintik-bintik.”
Cewek bule yang kecantikannya seolah milik “Ken Dedes”—bisa disebut sempurna (perfect)—nyaris mengobrak-abrik NKRI dari dalam Istana dan keluarga Bung Karno”.
Guntur begitu rinci menuliskan sosok wanita muda itu. Ia pun berusaha mengingat-ingat siapa namanyi. Sampai ia menulis naskah itu ia belum berhasil mengingatnya kembali.
Intel wanita itu berkebaya Jawa, berhasil ikut latihan menari dengan adiknya, Megawati, Rachmawati, dan Sukmawati.
Begitu dekat hubungan itu sampai Bung Karno mengusulkan agar dia tinggal di Istana Merdeka. “Bung Karno juga menyebut wanita itu sebagai ‘saudara angkat’ adik-adik saya”.
Sebenarnya, tulis Guntur, sebelum diputuskan untuk masuk ke Istana Merdeka, Bung Karno sudah memerintahkan semua badan intelijen melakukan investigasi terlebih dulu. Namun, mahasiswi AS itu ditemukan benar-benar “clean and clear”.
Identitas dan profesi yang bersangkutan baru terbongkar berkat informasi Presiden Pakistan Ayub Khan, sahabat kental Bung Karno.
“Khan menghubungi Bung Karno lewat telepon dan menjelaskan apa dan siapa sang ”mahasiswi” itu”.
“Bahkan, boleh jadi juga, kehadirannya untuk mengganggu hubungan baik Bung Karno dengan banyak kepala negara blok sosialis, seperti Nikita Khrushchev, Mao Zedong, dan Fidel Castro, yang baru saja membuka kedutaan besarnya di Jakarta.
Tak tertutup juga diinfokan, kemungkinan usaha-usaha pembunuhan terhadap para pemimpin di Indonesia, termasuk Bung Karno.
Mendapatkan informasi itu, Bung Karno, melakukan pengecekan dan pembicaraan tertutup dengan Badan Pusat Intelijen (BPI) yang dipimpin Dr Subandrio, Komandan Intel Cakrabirawa Kolonel Marokeh Santoso, Tim Khusus DKP Bidang Intelijen, dan Reserse AKP Sono.
Diambil keputusan untuk mengusir perempuan itu dari Istana dan Indonesia.
Syukur masalah itu tak sempat terekspos ke media massa di Indonesia atau pun internasional.
Dari buku-bukunya itu saya baru menemukan jawaban mengapa Guntur seperti menghilang dari peredaran beberapa tahun terakhir. Ternyata Guntur terus membaca dan menulis.
Buku-buku itu akan mengabadikan namanya. (*)