Oleh: Dahlan Iskan
KEMARIN, 24 tahun lalu. Ribuan orang panik. Mereka membanjir ke bandara Cengkareng. Cari aman. Ingin terbang ke luar negeri.
Hari itu Adharta sudah di luar negeri. Di Singapura. Sudah dua minggu. Harusnya masih dua minggu lagi di Singapura. Urusan bisnis.
Ia justru ingin balik ke Jakarta. Keluarganya harus diselamatkan. Malam itu, 12 Mei 1998, ia pun membeli tiket. Tidak satu atau dua. Ia membeli tiket semua perusahaan penerbangan jurusan Jakarta.
Keesokan harinya, pukul 07.00, Adharta sudah tiba di Bandara Changi. Ia lihat papan pengumuman: begitu banyak penerbangan jurusan Jakarta yang dibatalkan.
Adharta sudah keliling ke setiap konter penerbangan. Semua mengatakan tidak jadi terbang ke Jakarta. Ia terus melakukan komunikasi dengan keluarganya yang lagi ketakutan di Jakarta.
Akhirnya Adharta dapat pemberitahuan dari KLM. Pukul 15.00 perusahaan penerbangan Belanda itu akan terbang ke Jakarta. Adharta sudah diberitahu: pesawat akan bisa mendarat, tapi penumpang tidak akan bisa keluar dari Bandara Cengkareng.
Gak masalah. Yang penting sudah sampai Jakarta.
Hari itu Jakarta membara. Kerusuhan dan pembakaran terjadi di mana-mana. Anda sudah tahu: korbannya warga keturunan Tionghoa. Juga aset mereka.
Adharta adalah Tionghoa. Marganya Ong (王国逸). Rumahnya di Grogol –sekitar 500 meter dari kampus Trisakti. Atau persis di seberang Hotel Ciputra. Trisakti adalah salah satu titik menentukan penyebab kerusuhan itu. Yakni setelah mahasiswa Trisakti, yang demo anti Presiden Suharto, tertembak mati.
Menurut Adharta, KLM jurusan Jakarta itu tidak penuh. Bahkan tidak sampai separo. Kelihatannya KLM sengaja terbang ke Jakarta sebagai bagian dari usaha evakuasi. “Mungkin hanya sepertiga kursi yang terisi,” ujar Adharta. Itu pun banyak yang tenaga medis. “Sebelah-sebelah saya dokter Singapura,” katanya.
Begitu mendarat, Adharta melihat sendiri. Bandara penuh manusia. Dalamnya. Terutama luarnya. Tidak mungkin ia bisa keluar dari bandara.
Ia masih bisa menjalani proses imigrasi. Seperti biasa. Tapi untuk yang terbang meninggalkan Jakarta banyak yang tanpa paspor. Terutama anak-anak yang masih dalam gendongan.
Adharta juga memperoleh informasi: macet total di sepanjang jalan tol menuju bandara. Jalur menuju Jakarta pun dipadati mobil yang menuju bandara.
Kepanikan dan ketakutan bercampur jadi satu. Banyak yang membawa mobil ke bandara tanpa tahu akan ditinggal di mana mobilnya nanti. Banyak juga yang sampai di bandara ingin menjual mobil itu. Dengan harga berapa pun. Lalu terbang ke luar negeri.
Saya jadi ingin tahu: benarkah semua itu. Maka, kalau ada pembaca yang mengalami semua itu, saya ingin sekali mendapat ceritanya secara langsung. Saya bisa dihubungi di email redaksi@disway.id.
Malam itu, Adharta pilih tinggal di hotel yang ada di dalam Bandara Cengkareng. Ia mendapat kamar VVIP. Dari Singapura ia membawa pizza dua karton. Masing-masing berisi pizza lapis dua. Ia jaga-jaga: siapa tahu sulit mendapat makanan.
Begitu mau masuk hotel ia lihat begitu banyak anak di bandara itu. Seperti kelaparan semua. Ia ajak anak-anak itu ke lobi hotel. Sekitar 20 anak. Di lobi itu, pizza dibagi. Orang tua mereka melihat dari kaca di luar lobi.
Adharta sengaja membawa anak-anak itu ke lobi. Agar jangan sampai ada orang dewasa yang ikut makan. Ia telah minta izin petugas hotel untuk memasukkan anak-anak lapar itu.
Petugas hotel melihat adegan itu dengan haru. Keesokan harinya ketika Adharta makan di hotel itu tidak boleh bayar.
Tanggal 15 Mei, mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR. Kerusuhan di Jakarta mereda. Hari itu Presiden Soeharto meletakkan jabatan. Wakil Presiden Habibie dilantik menjadi presiden.
Malam itu Adharta menghubungi sopirnya. Agar Sang Sopir cari jalan menuju bandara. Pukul 03.00, sang Sopir bisa sampai bandara. Pakai mobil kijang. Adharta bisa pulang ke Grogol. Sudah ada tentara yang menjaga perumahan itu.
Itu adalah perumahan Kementerian Penerangan. Yang sudah banyak dijual. Adharta membelinya satu tahun sebelumnya.
Komposisi di perumahan itu 50:50 –antara Tionghoa dan non-Tionghoa.
Ketika belum sampai rumah, Adharta terpikir untuk mengevakuasi keluarganya. Ke hotel. Atau ke apartemen. Itulah pilihan tempat evakuasi paling aman.
Waktu masih di Singapura, ia terpikir mengevakuasi keluarga ke sebuah apartemen di dekat Muara Baru. Ia kenal pemiliknya. Ia memesan 20 rumah di apartemen itu. “Ternyata, besoknya apartemen itu jadi sasaran kerusuhan. Dibakar,” ujar Adharta.
Setelah tiba di rumah, Adharta berubah pikiran. Tidak perlu evakuasi. Pak RT/RW di situ menjamin keamanan kampung. “Kampung kami memang kompak,” ujar Adharta bangga. “Bahkan warga yang bukan Tionghoa sudah menawarkan agar kami tinggal di rumah mereka,” katanya.
Kini, 24 tahun kemudian, Adharta masih sehat. Ia lahir di pulau kecil Alor di NTT. Lalu sekolah di Surabaya. Di SMPN Kapas Krampung. Lanjut ke SMA Frateran. Kini ia pengusaha kapal.
Di awal masa pandemi ini ia membentuk kelompok relawan Covid. Namanya: Komunitas Indonesia Lawan Libas Covid. Disingkat KILL Covid.
Bentuk lembaga itu perkumpulan. Pendirinya 60 orang. Cabangnya di banyak kota. Total relawan KILL Covid sampai 30.000 orang.
Adharta sendiri terkena Covid. Tiga kali pula. Tanggal 27 Juli 2020 ia kena yang pertama. Justru ketika lagi mengurus terbentuknya relawan itu. Parah. Sampai masuk ICU 14 hari. Waktu itu belum ada obat Covid. Dokter masih meraba-raba apa yang bisa dilakukan.
Tepat setahun kemudian, 27 Juli 2021, Adharta kena Covid lagi. Masuk RS sampai 10 hari.
Itu bermula dari sakit gigi. Dua hari sebelumnya. Lalu ia ke dokter gigi. “Begitu keesokan harinya saya mendengar dokter gigi itu kena Covid, ya sudah. Saya pasti kena lagi,” katanya mengenang.
Yang ketiga, terjadi akhir Februari 2022. Tertular dari istrinya. Sang istri tertular dari pembantu. Ia masuk RS lagi. 10 hari lagi. Kali ini kompak bersama istri. Baru kali itu sang Istri kena Covid.
“Saya sudah mengalami semua: Alpha, Delta, Omicron,” katanya lantas tertawa.
Adharta tidak mengira kena Omicron bersama istri. Hari itu ia baru pulang dari Australia. Masuk karantina 10 hari. Di Hotel Mulia. Aman. Justru ia mendengar anaknya yang di Australia yang terkena Covid. Sekeluarga.
Adharta memang punya rumah di Australia. Di Melbourne. Sudah lebih 2 tahun ia tidak melihat rumahnya itu.
Setelah Covid reda, Adharta punya dua persoalan. Pertama, apa yang harus dilakukan KILL Covid yang begitu besar. Saya pun mengusulkan untuk menangani akibat long Covid.
Adharta setuju. Ia sendiri mengalami long Covid. Kini pendengarannya tidak normal lagi. Ia sudah berobat ke banyak dokter. Termasuk dokter di Singapura. Gagal.
“Sembuh tidak mungkin. Tapi bisa diusahakan tidak memburuk,” ujarnya.
Saya sendiri tidak mengalami kesulitan mewawancarainya. Jarak jauh. Lewat telepon. Masih ok.
Lalu apa persoalannya?
“Pendengaran saya tidak bisa lagi stereo,” jawabnya. (*)