MAKASSAR, DISWAYSUSEL – Aparatur pemerintahan diharapkan mampu menjaga netralitas pada Pimilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 27 November mendatang. Termasuk di masa tenang ini.
Penyelenggara Pemilu baik KPU atau Bawaslu, TNI, Polri serta Aparatur Sipil Negara (ASN) diminta tidak menambah tingginya tensi situasi politik dengan melakukan cawe – cawe di Pilkada.
Apalagi, situasi politik di masyarakat sudah mulai memanas antar pendukung. Sehingga, jika terjadi ketidaknetralan Aparatur Pemerintahan otomatis akan memancing terjadinya keonaran.
Ketua KPU Sulsel, Hasbullah mengatakan, pihaknya telah membangun komitmen untuk menjaga netralitas penyelenggara hingga ke level Tempat Pemungutan Suara (TPS).
“Kita kan buat bimtek kita minta teman-teman pengawas, kita minta masyarakat semua ikut terlibat dalam proses ini,” sebutnya saat ditemui di Kantor KPU Sulsel, Minggu, 24 November 2024.
Hasbullah menyebut, sesuai PKPU 17 terkait dengan pungut hitung suara, baik pewarta ataupun masyarakat sipil bisa melakukan foto terkait dengan salinan hasil C-Plano. Hal itu merupakan bagian dari akuntabilitas yang didorong oleh KPU sampai di level pemungutan suara.
“Karena partisipasi aktif masyarakat itu penting dalam melakukan pengawasan terkait dengan kerja-kerja di lapangan,” tukasnya.
Pengamat Politik Unversitas Hasanuddin (Unhas), Tasrifin Tahara menilai, meningginya tensi politik akan lebih meningkat di masa tenang. Kendati kerja kerja Tim Pemenangan pasangan calon akan lebih intens lagi.
Mulai menjaga basis, serta memobilisasi segala sumber daya untuk mendapatkan peluang di penghujung.
“Jadi apapun berpotensi dia lakukan sepanjang tidak terlihat atau terpantau oleh pihak-pihak seperti Bawaslu. Sebenarnya yang grasak-grusuk itu hanya pada level tim sukses, karena masyarakat juga sudah punya pilihan,” sebutnya.
Terkait netralitas penyelenggara Pemilu, TNI, Polri dan ASN, Ketua Prodi Antropologi FISIP Unhas ini mengatakan, tidak menutup kemungkinan pelanggaran-pelanggaran dilakukan oleh para oknum. Kondisi itu juga potensi membuat situasi politik memanas.
“Selalu orang mengait-ngaitkan bahwasanya yang didukung oleh misalnya rezim dialah pemenang, padahal itu kan idiom-idiom yang dibuat oleh kandidat saja. Ini kemudian dimaknai dengan adanya simbol-simbol seperti militer, partai, padahal tanpa itu juga masyarakat memang sudah punya pilihan,” terang Tasrifin.
“Kalau memang ada aparat, kemungkinan itu bukan ada pada level komando keseluruhan, itu mungkin hanya oknum-oknum tertentu. Namanya di lapangan, selalu ada orang-orang yang memanfaatkan posisi dan kondisi tertentu,” tukasnya.
Terpisah, Ketua Tim Hukum pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur Sulsel Danny Pomanto – Azhar Arsyad (DIA), Akhmad Rianto mengatakan, penyelenggara Pemilu, ASN, TNI dan Polri tidak boleh memihak dan atau memberikan dukungan kepada kandidat manapun.
Rianto menyebut, aparatur negara tidak boleh memberikan sarana dan prasarana atau memfasilitasi, termasuk dilarang memberikan arahan baik kepada keluarganya atau kepada warga.
“Justru sebaliknya, aparatur negara harus mengayomi, menjaga keamanan dan ketertiban dalam pelaksanaan Pilkada agar berlangsung secara jujur, adil dan demokratis. Atau setidak-tidaknya kemudian berdiri di atas kepentingan semua,” ujar Rianto.
Namun dalam pelaksanaan Pilkada 2024 ini, Rianto mengungkapkan, larangan keberpihakan aparatur negara masih saja diabaikan. Dalam catatan Tim Hukum DIA, ada dugaan cawe-cawe oknum TNI Kodam Hasanuddin.
“Dalam pelaksanaan Pilwalkot Makassar, dimana salah satu anggota TNI Kodam Hasanuddin pada pertengahan bulan November 2024 diduga mengarahkan warga untuk memilih paslon tertentu,” sebutnya.
Dugaan itu pun, kata Rianto, telah ditindaklanjuti dengan melakukan pelaporan ke Bawaslu Kota Makassar pada Jumat, 22 November 2024 kemarin.
“Kita sudah buatkan pelaporannya di Bawaslu Kota Makassar dan kemungkinan hari Senin (25 November) sudah dipanggil untuk diperiksa saksi-saksi yang kita hadirkan,” ungkapnya.
Menanggapi kerawanan ini, Komisioner Bawaslu Provinsi Sulsel, Saiful Jihad mengatakan, pihaknya telah mengeluarkan imbauan terhadap para aparatur negara untuk tidak terlibat dalam politik praktis pada Pilkada Serentak.
“Memastikan menjaga integritas dan profesionalisme dengan menjunjung tinggi Netralitas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan tidak berpolitik praktis yang mengarah pada keberpihakan dan berafiliasi dengan Partai Politik dan/atau salah satu pasangan calon,” sebutnya.
Kemudian, memastikan tidak membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, dan juga memastikan tidak menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain, sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
“Bawaslu Sulsel juga menghimbau kepada KPU dan Pemerintah Daerah untuk melakukan sosialisasi terkait Netralitas ASN pada masa tenang Pilkada Serentak 2024 kepada seluruh ASN di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan,” ujarnya.
Dia menambahkan Bawaslu menghimbau, untuk melaporkan dugaan pelanggaran dan sengketa proses pada Pilkada Serentak 2024 kepada Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota.
Terkait jaminan netralitas Polri pada kontestasi Pilkada Serentak ini, Kasat Binmas Polrestabes Makassar, AKBP Risman Sani menerangkan, kepolisian tak punya hak politik dan suara.
“Tentu sesuai Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU No. 2 Tahun 2002, Polri bersikap netral pada kehidupan politik. Kita tidak punya hak politik mengkampanyekan, dan juga hak suara memilih,” ungkapnya.
Dia mengatakan, peran pihak Polisi dalam kontestasi Pilkada ini hanya sebatas pada pengamanan. Lebih jauh dari itu, Polisi juga punya tanggung jawab dalam mencegah terjadinya gesekan di tengah masyarakat. Sehingga kata dia, Polisi mesti netral untuk mencegah konflik tersebut.
“Bagaimana mengamankan, perlu diperhatikan mencegah konflik. Karena yang mendasari gesekan di tengah masyarakat itu kalau mementingkan kepentingan pribadi,” katanya.
Sementara, Kasubdit Multimedia Polda Sulsel, AKBP Nasaruddin menegaskan, setiap aparat Polri yang melanggar netralitas pasti akan mendapatkan sanksi. Sebab kewajiban netralitas tersebut telah jelas regulasinya pada Undang-Undang.
“Kalau terbukti tidak netral, ada sanksi administrasi berupa mutasi, penundaan kenaikan pangkat, dan tertunda pendidikan. Sanksi disiplin, penempatan di tempat khusus sel. Dan maksimal Pemberhentian Tidak Hormat (PTDH),” imbuhnya.